Ta'sir ( penetapan harga)

A     Pengertian Tas’ir
Dalam fikih islam dikenal dua istilah bebeda mengenai harga suatu barang, barang as-saman dan as-si’r. “as-saman” adalah harga satuan barang atau nilai sesuatu. Sementara “as-si’r” adalah harga yang ditentukan untuk barang dagangan. Kata as-si’ru jamaknya as’ar artinya harga (sesuatu). Kata as-si’ru ini digunakan di pasar untuk menyebut harga (di pasar). Fluktuasi harga suatu komoditas berkaitan erat dengan as-si’ir bukan as-saman larena as-si’ir merupakan harga aktual yang terbentuk dalam proses jual beli.
Adapun menurut pengertian syariah, terdapat beberapa pengertian yaitu :
1.      Menurut Imam  Ibnu Irfah (ulama Malikiyah) :
هو تحديد حاكم السوق لبائع المأكول فيه قدراً للمبيع بدرهم معلوم
“Tas’ir adalah penetapan harga tertentu untuk barang dagangan yang dilakukan penguasa kepada penjual makanan di pasar dengan sejumlah dirham tertentu”.

2.      Menurut Syaikh Zakariya Al-Anshari (ulama Syafi’iyah) :
أن يأمر الوالى السوقة أن لايبيعوا أمتعتهم إلا بسعر كذا
“Tas’ir adalah perintah wali (penguasa) kepada pelaku pasar agar mereka tidak menjual barang dagangan mereka kecuali dengan harga tertentu”.

3.      Menurut Imam Al-Bahuti (ulama Hanabilah) :
التسعير أن يسعر الإمام أو نائبه على الناس سعراً ويجبرهم على التبايع به
“Tas’ir adalah penetapan suatu harga oleh Imam (Khalifah) atau wakilnya atas masyarakat dan Imam memaksa mereka untuk berjual beli pada harga itu”.

4.      Menurut Imam Syaukani :
هو أن يأمر السلطان أو نوابه أو كل من ولى من أمور المسلمين أمراً أهل السوق ألا يبيعوا أمتعتهم إلا بسعر كذا فينمع من الزيادة عليه أو النقصان لمصلحة
“Tas’ir adalah perintah penguasa atau para wakilnya atau siapa saja yang mengatur urusan kaum muslimin kepada pelaku pasar agar mereka tidak menjual barang dagangan mereka kecuali dengan harga tertentu dan dilarang ada tambahan atau pengurangan dari harga itu karena alasan maslahat”.[2]

5.      Menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani :
هو أن يأمر السلطان أو نوابه أو كل من ولى من أمور المسلمين أمراً أهل السوق ألا يبيعوا السلع إلا بسعر كذا فينمعوا من الزيادة عليه حتى لا يغلوا الأسعار أو النقصان عنه حتى لا يضاربوا غيرهم، أي ينمعون من الزيادة أوالنقص عن السعر لمصلحة الناس
“Tas’ir adalah perintah penguasa atau para wakilnya atau siapa saja yang mengatur urusan kaum muslimin kepada pelaku pasar agar mereka tidak menjual barang dagangan mereka kecuali dengan harga tertentu, dan mereka dilarang menambah atas harga itu agar mereka tidak melonjakkan harga, atau mengurangi dari harga itu agar mereka tidak merugikan lainnya. Artinya, mereka dilarang menambah atau mengurangi dari harga itu demi kemaslahatan masyakarat”.

Jadi para ulama fikih sepakat menyatakan bahwa yang berhak untuk menentukan dan menetapkan harga itu adalah pihak pemerintah setelah mendiskusikannya dengan pakar-pakar ekonomi. Dalam penetapan harga tersebut pemerintah harus mempertimbangkan kemaslahatan para pedagang dan konsumen. [3]
Dari berbagai definisi tersebut, sebenarnya maknanya hampir sama. Kesamaannya ialah definisi-definisi tersebut selalu menyebut tiga unsur yang sama. Pertama, penguasa sebagai pihak yang mengeluarkan kebijakan. Kedua, pelaku pasar sebagai pihak yang menjadi sasaran kebijakan. Ketiga, penetapan harga tertentu sebagai substansi kebijakan.
B.       Dasar Hukum Tas’ir
Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa ketentuan penetapan harga ini tidak dijumpai dalam al-Qur’an. Ketentuan yang berkaitan dengan tas’ir al-jabari terdapat dalam hadist Rasulullah SAW. seperti yang diriwayatkan dari Anas Ibn Malik. Dalam riwayat itu dikatakan:
Dari Anas Ibn Malik ia berkata: “ pada zaman Rasulullah Saw. terjadi pelonjakan harga di pasar, lalu sekelompok orang menghadap kepada Rasulullah Saw. seraya berkata: “ ya Rasulullah, harga-harga di pasar kian melonjak begitu tinggi, tolonglah tetapkan harga itu. Rasulullah Saw., menjawab: sesungguhnya Allahlah yang (berhak) menetapkan harga dan menahanny, melapangkan dan memberi rezeki. Saya berharap akan bertemu dengan Allah dan jangan seseorang di antara kalian menuntut saya untuk berlaku zalim dalam soal harta dan nyawa”
Menurut jumhur ulama, tas’ir bertentangan dengan nash-nash yang terdapat dalam Hadist. Sebab tas’ir bermakna pemaksaan atas penjual dan pembeli untuk berjual-beli dengan harga tertentu.
Dalil lainnya, Hadits Nabi saw :
لا يبيع حاضر لباد ، دعوا الناس يرزق الله بعضهم من بعض
“Janganlah orang kota menjual kepada orang dusun, biarkanlah manusia, Allah akan memberi rizki kepada mereka sebagian dari sebagian lainnya”.

Dari Hadits ini Rasulullah saw melarang orang kota yang tahu harga menjual barang dagangan kepada orang dusun yang tidak tahu harga. Karena hal ini akan dapat melonjakkan harga. Maka tas’ir dibolehkan agar tidak terjadi pelonjakan harga.
1.      Imam Ibnul Qayyim menjelaskan, tas’ir yang dibolehkan itu contohnya : penguasa melarang para pedagang untuk menjual barang dengan harga yang lebih tinggi dari harga pasar, sementara saat itu masyarakat sangat membutuhkan barang itu. Maka dalam kondisi seperti ini penguasa mewajibkan pedagang menjual dengan harga pasar, karena ini berarti mengharuskan keadilan. Padahal keadilan adalah hal yang diperintahkan Allah.
2.      Para ulama fiqh menyatakan bahwa kenaikan harga yang terjadi di zaman Rasulullah SAW. itu bukanlah oleh tindakan sewenang-wenang dari para pedagang, tetapi karena memang komoditi yang ada terbatas. Sesuai dengan hukum ekonomi apabila stok terbatas, maka lumrah harga barang itu naik. Oleh sebab itu  dalam keadaan demikian Rasulullah SAW. tidak mau campur tangan membatasi harga komoditi di pasar itu, karena tindakan seperti ini bersifat zalim terhadap para pedagang. Padahal, Rasulullah SAW. tidak akan mau dan tak akan pernah berbuat zalim kepada sesama manusia, tidak terkecuali kepada pedagang dan pembeli. Dengan demikian, menurut para pakar fiqh, apabila kenaikan harga itu bukan karena ulah para pedagang, maka pihak pemerintah tidak boleh ikut campur dalam masalah harga, karena perbuatan itu menzalimi para pedagang.

C. Perdebatan Akademik Seputar Tas'ir
Para ulama fikih sepakat menyatakan bahwa ketentuan penetapan harga ini tidak dijumpai dalam Al-Qur'an. Ketentuan yang berkaitan dengan Tas'ir Al-Jabari terdapat dalam hadis Rasulullah Saw, seperti yang diriwayatkan dari Anas Ibn Malik:
“Dari Anas Ibn Malik ia berkata: "Pada zaman Rasulullah Saw. Terjadi pelonjakan harga di pasar, lalu sekelompok orang menghadap kepada Rasulullah Saw. seraya berkata: ya Rasulullah, harga-harga di pasar kian melonjak begitu tinggi, tolonglah tetapkan harga itu. Rasulullah Saw., menjawab: sesungguhnya Allah-lah yang (berhak) menetapkan harga dan menahannya, melapangkan dan memberi rezeki. Saya berharap akan bertemu dengan Allah dan jangan seseorang di antara kalian menuntut saya untuk berlaku zalim dalam so'al harta dan nyawa".
Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah hukum tas'ir. Jumhur ulama' dari Ulama Hanafiyah, Syafi'iyah, dan Hanabilah, seperti Ibnu Qudamah, ulama Muta'akkhirin seperti Imam Syaukani dan Imam An-Nabhani mengharamkan secara mutlak penetapan harga oleh pemerintah (Tas'ir) mereka mendasar pada Q.S An-Nisa (4: 29)
يَآاَيُّهَا الَّذِينَءَامَنُواْلاَتَأْكُلُوآأَموَالَكُم بَينَكُم بِاْلْبَاطِلِ إِلَّآأَن تضكُونَ تِجَارَ ةً عَن تَرَضٍ مِّنكُم وَلاَ تَقتُلثوآأَنفُسَكُم إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُم رَحِيمَا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaanyang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah maha penyayang kepadamu.”
Menurut jumhur ulama, tas'ir bertentangan dengan nash-nash yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Hadis. Sebab, tas'ir bermakna pemaksaan atas penjual atau pembeli untuk berjual-beli dengan harga tertentu. Ini melanggar kepemilikan seseorang karena kepemilikan itu bermakna memiliki kekuasaan atas harta miliknya. Karena itu, ia berhak menjual dengan harga yang ia sukai. Pematokan harga tertentu akan menghalangi atau merampas sebagai kekuasaan seseorang atas hartanya. Sesuai keterangan nash diatas, maka hal itu tidak boleh terjadi.
Maqasid Larangan Tas’ir
Rasulullah menjelaskan tas’ir (menetapkan harga) dalam hadits Rasulullah:
امْتَنَعَ الَنَّبِيُّصَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ عَنِ التَّسْعشيرِ عِندَمَا قَالَ الصَّحَابَةُ: سَعِّرلَنَا يَارَسُولُ اللهِ وَقَالَ: إِنَّ اللهُ هُوَالمُسَّعِّرُ وَإِنِّى لَأَرءجُو أَنْ أَلْقَى اللهَ وَلَيْسَ أَحَدٌمِّنْكُمْ يَطءلُبُنِي بِمَظْلَمَةٍ فِي دَمٍ وَلاَ مَالٍ ....
“Rasulullah Saw melarang tas’ir (harga barang ditentukan), ia berkata kepada para sahabat: Wahai Rasulullah, tentukan harga... Rasulullah Saw menjawab: sesungguhnya Allah SWT yang menentukan harga, dan aku ingin bertemu Allah SWT, dan tidak ada yang menututku karena kezalimanku dan masalah harga dan jiwa...”
Malikiyah menafsirkan hadis tersebut berdasarkan maslahat yang ingin dicapai dalam hadis ini. Tujuan tas’ir (menetapkan harga) adalah melndungi hajat pedagang yang menjual barangnya sesuai aturan supply  dan demand. Maka penentuah harga bagi mereka adalah menzalimi mereka.
Tetapi dalam kondisi khusus, seperti  jika terjadi monopoli sehingga supply  dan demand tidak terjadi lagi, maka tas’ir (penetapan harga) diperbolehkan.

D. penetapan penerapan harga pasar zaman kontemporer
    Dalam penetapan harga, pembedaan harus dibuat antara pedagang lokal yang memiliki stok barang dengan pemasok luar yang memasukkan barang itu. Tidak boleh ada penetapan harga atas barang dagangan milik pemasok luar. Tetapi, mereka bisa diminta untuk menjual, seperti rekanan importir mereka menjual. Pengawasan atas harga akan berakibat merugikan terhadap pasokan barang-barang impor, di mana sebenarnya secara lokal tak membutuhkan kontrol atas harga barang karena akan merugikan para pembeli. Dalam kasus harga barang di masa darurat (bahaya kelaparan, perang, dan sebagainya), bahkan ahli ekonomi modern pun menerima kebijakan regulasi harga akan berhasil efektif dan sukses dalam kondisi seperti itu.






Komentar